Polemik Pemilu 2024 Proporsional Terbuka atau Tertutup?

Jurnalborneo.com

Gedung Mahkamah Konstitusi (Dokumentasi: Istimewa)

Sistem pemilihan anggota legislatif di Pemilu 2024 kembali menjadi perhatian. Terutama berkaitan dengan pemilihan proporsional terbuka atau proporsional tertutup. Pada Pemilihan Umum tahun 2014 dan 2019, digunakan sistem proporsional terbuka. Namun, pelaksanaan sistem ini telah menimbulkan beberapa permasalahan.

Dalam sistem proporsional terbuka, rakyat memiliki kekuasaan penuh. Namun, dalam kenyataannya, masyarakat yang masih menghadapi masalah lapar dan kemiskinan cenderung memilih wakil yang memiliki modal dan kekayaan tanpa mempertimbangkan identitas politik, moralitas, dan kapasitas. Akibatnya, sistem proporsional terbuka sering kali menghasilkan wakil rakyat yang kurang berpengalaman, belum teruji, dan bukan kader terbaik partai. Hal ini mengakibatkan terpilihnya wakil yang gagal menjaga integritas moral dan tanggung jawab.

Selain itu, sistem proporsional terbuka juga mengurangi efektivitas fungsi pengawasan. Persaingan antara calon anggota legislatif dalam satu partai menjadi tidak sehat, dan kontestasi lebih berfokus pada persaingan internal antar caleg satu partai daripada dengan partai lain.

Namun, terdapat beberapa kelebihan dalam sistem proporsional terbuka. Sistem ini memastikan bahwa siapa yang duduk di parlemen sepenuhnya bergantung pada suara rakyat, bukan partai. Suara rakyat menjadi penentu siapa yang akan mewakili mereka di parlemen. Di sisi lain, sistem proporsional tertutup dianggap akan mengembalikan oligarki partai dan memperkuat peran partai dalam penentuan siapa yang menduduki kursi parlemen setelah perolehan suara partai dikonversikan menjadi jumlah kursi.

Namun, sistem proporsional tertutup dapat meminimalisir praktik politik uang dan menekan biaya pemilu yang cenderung mahal. Kelebihan sistem proporsional tertutup adalah bahwa masyarakat cukup memilih partai, dan partai yang akan mengirimkan kader terbaiknya ke parlemen. Partai tahu siapa kader yang memiliki kapasitas, integritas, narasi, substansi, struktur, dan budaya yang baik.

Rumor bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengegolkan perubahan sistem pemilu menjadi sistem tertutup.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, meminta pengusutan terhadap dugaan kebocoran informasi putusan MK.

“Kalau betul itu bocor, itu salah … Saya tadi sudah ke MK supaya diusut siapa di dalam yang suka bicara itu,” kata Mahfud usai rapat bersama Kapolri dan Panglima TNI di Jakarta, Senin (29/05).

Kapolri mengatakan pihaknya terbuka untuk melakukan penyelidikan.

Pakar hukum tata negara, Feri Amsari ,mengatakan rumor yang digulirkan oleh wakil menteri di pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono itu dipengaruhi oleh kecurigaan bahwa MK dikendalikan oleh kepentingan politik.

Mengapa jadi polemik?

Rumor kebocoran putusan MK ini ditanggapi serius oleh beberapa mantan hakim di lembaga tersebut.

Mahfud MD, Ketua MK periode 2008-2013 dan sekarang menjabat sebagai Menkopolhukam, menyebut info dari Denny sebagai “preseden buruk, bisa dikategorikan pembocoran rahasia negara”.

“Polisi harus selidiki info A1 yang katanya menjadi sumber Denny agar tidak menjadi spekulasi yang mengandung fitnah,” kata Mahfud dalam sebuah Twit yang dikirim Minggu (28/05).

Pada Senin (29/05), ia menegaskan bahwa putusan MK seharusnya menjadi rahasia ketat sebelum dibacakan. “Tapi kalau sudah diketok itu harus disebarkan agar tidak ada yang mengubah,” ujar Mahfud.

Mantan ketua MK pertama, Jimly Asshidiqie, menanggapi komentar SBY dengan mengatakan seharusnya orang di luar MK tidak membuat kesimpulan sebelum perkara tuntas dipersidangkan. “Rumor bukan fakta,” katanya.

Jimly menambahkan, kalaupun rumor itu benar, Denny Indrayana pantas untuk disanksi karena sebagai pengacara semestinya ia tahu bahwa putusan MK sebelum dibacakan adalah rahasia.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Purnomo mengatakan pihaknya membuka kemungkinan untuk melakukan penyelidikan terhadap dugaan kebocoran informasi dari MK.
“Kami saat ini sedang merapatkan untuk langkah-langkah yang bisa kita laksanakan untuk membuat semuanya menjadi jelas,” kata Listyo dalam jumpa pers bersama Mahfud, Senin (29/05).
“Dan tentunya kalau kemudian ada peristiwa pidana di dalamnya tentunya kita akan mengambil langkah lebih lanjut,” ia menambahkan.

Menunggu keputusan MK atau menerapkan mekanisme open legal policy?

Pada Pemilu mendatang, ada kekhawatiran bahwa MK dapat melakukan intervensi yang lebih besar daripada yang terjadi pada tahun 2008. Bahwa MK akan menyatakan beberapa pasal yang terkait dengan sistem proporsional terbuka sebagai inkonstitusional, maka hal ini akan menimbulkan masalah ketatanegaraan yang dapat memiliki dampak yang panjang.

“Sistem pemilu itu adalah pilihan politik dengan mempertimbangkan misalnya konfigurasi politik di Indonesia, mempertimbangkan sosiokultural yang ada dan lain sebagainya,” kata peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kahfi Adlan Hafiz, Rabu.

Ia juga menambahkan bahwa dalam UUD 1945 tidak secara eksplisit ditentukan sistem pemilu yang harus digunakan oleh Indonesia. Menurutnya, hal ini berarti konstitusi memberikan keleluasaan kepada pembuat undang-undang untuk menentukan sistem pemilu yang paling sesuai dengan kondisi aktual bangsa.

Namun, jika MK menentukan bahwa sistem pemilu proporsional terbuka adalah inkonstitusional dan menetapkan sistem pemilu tertentu sebagai yang konstitusional, maka ada kekhawatiran bahwa sistem-sistem lainnya tidak dapat digunakan di masa depan.

“Mungkin sekarang sistem pemilu yang lebih relevan adalah sistem proporsional. Tetapi, di masa depan nanti bisa jadi yang lebih relevan adalah sistem campuran atau sistem mayoritas,” ujar Kahfi memberi contoh. “Ketika MK memutuskan satu sistem yang konstitusional, maka tidak ada ruang evaluasi sistem di masa depan,” ujarnya. Kahfi berujar, dalam naskah kesimpulan yang diserahkan ke MK, Perludem menyebut bahwa “akan sangat berbahaya ketika sistem pemilu itu diputuskan oleh MK”.

Perludem disebut meminta MK menolak gugatan ini. Seandainya memang pemilu sistem proporsional terbuka perlu dievaluasi, maka proses itu dilakukan di DPR RI melalui mekanisme open legal policy alih-alih ditentukan oleh MK.

Penulis:

Hastag: